RSPO (Roundtable On Sustainable Palm Oil )

Crude Palm Oil, biasa dikenal dengan CPO yang merupakan produk setengah jadi yang berbentuk minyak kelapa sawit adalah salah satu komoditi perkebunan terbesar di dunia. Harga CPO yang sempat terjun bebas (Rp5.300 per kg pada akhir tahun 2008) yang diakibatkan oleh krisis ekonomi global dan sejalan dengan penurunan harga minyak mentah dunia.

Hal ini cukup memberikan pengaruh yang signifikan terhadap perkembangan perekonomian negara pada umumnya dan khususnya perusahaan perkebunan sebagai produsen. Pada awal tahun 2009 perkembangan harga CPO mulai menunjukkan harapan yang cukup baik bagi perusahaan perkebunan kelapa sawit. Peningkatan harga CPO yang mulai membaik meningkatkan kembali gairah produsen minyak sawit untuk terus berproduksi.

Berkembangnya industri kelapa sawit tidak terlepas dari bagaimana pengelolaan minyak sawit yang berkelanjutan dan lestari. Industri kelapa sawit sering dituding sebagai salah satu penyebab rusaknya lingkungan dan hutan-hutan tropis serta hilangnya keanekaragaman hayati yang ada. Untuk mengatasi masalah tersebut pengembangan industri minyak sawit harus dilakukan secara lestari.

Tuntutan dari pasar global terhadap pengelolaan perkebunan dan pengolahan kelapa sawit yang bertanggung jawab dengan memperhatikan aspek lingkungan, sosial, dan ekonomi saat ini sangat besar. Hal inilah yang kemudian melahirkan suatu konsep minyak sawit lestari oleh suatu badan yang disebut dengan Roundtable On Sustainable Palm Oil (RSPO).

RSPO adalah proses pengelolaan kebun dan pabrik kelapa sawit untuk mencapai satu atau lebih tujuan yang ditetapkan guna produksi barang dan jasa secara terus menerus dengan tidak mengurangi nilai inheren dan produktivitas masa depannya, serta tanpa menimbulkan dampak yang tidak diinginkan terhadap lingkungan biologi, fisik, dan sosial.

Visi RSPO adalah akan menjamin produksi minyak sawit dapat memberikan kontribusi untuk dunia yang lebih baik. Sedangkan Misi RSPO adalah mempromosikan produksi, pembelian dan penggunaan minyak sawit yang lestari, melalui pembangunan, penerapan, dan verifikasi dengan menggunakan standar global yang kredibel, didukung oleh perjanjian dan komunikasi pada seluruh pihak terkait dalam rantai supply.

Adapun tujuan RSPO adalah mempromosikan produksi dan penggunaan minyak sawit berkelanjutan melalui kerjasama di sepanjang rantai pasok (supply chain) dan dialog terbuka dengan para pemangku kepentingan (stakeholders).

Konferensi Minyak Sawit Lestari (RSPO) awalnya diprakarsai oleh kerjasama tidak resmi diantara Aarhus United UK Ltd, Golden Hope Plantation Bhd, Migos, Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Malaysia, Sainsbury’s dan Unilever dengan WWF pada akhir tahun 2002. Organisasi-organisasi tersebut bergabung sebagai Organizing Committe untuk melaksanakan Pertemuan Meja Bundar Pertama pada bulan Agustus 2003 di Kuala Lumpur, dan meletakkan dasar-dasar guna menciptakan struktur organisasi dan pengawasan yang menghasilkan pembentukan RSPO.

Sejak dibentuknya RSPO pada Agustus 2003, telah dilakukan beberapa kali Roundtable Meeting yaitu Roundtable Meeting (RT2) pada tanggal 5-6 Oktober 2004 di Jakarta yang dilaksanakan oleh Komisi Minyak Sawit Indonesia (KMSI), Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), dan WWF Indonesia bersama-sama dengan RSPO. Roundtable Meeting (RT3) di laksanakan di Singapura pada tanggal 22-23 Nopember 2005.

Hasil utama dari pertemuan RT3 adalah telah diterimanya 8 Prinsip dan 39 Kriteria untuk Produksi Minyak Sawit Lestari sebagai satu paket utuh oleh para anggota RSPO. Adapun 8 Prinsip tersebut adalah:

1. komitmen terhadap transparansi (2 kriteria),

2. memenuhi hukum & peraturan yang berlaku (3 kriteria),

3.komitmen terhadap kelayakan ekonomi dan keuangan jangka panjang (1 kriteria),

4.penggunaan praktek terbaik dan tepat oleh perkebunan & pabrik (8 kriteria),

5. tanggungjawab lingkungan & konservasi kekayaan alam dan keanekaragaman hayati (6 kriteria).

6.tanggungjawab kepada pekerja, individu-individu, dan komunitas dari kebun dan pabrik (11 kriteria),

7. pengembangan perkebunan baru secara bertanggung jawab (7 kriteria)

8. komitmen terhadap perbaikan terus menerus pada wilayah-wilayah utama aktivitas (1 kriteria).

Pada RT4 di Singapura, penulis menjadi saksi diperkenalkannya RSPO Indonesia Liaison Office (RILO) pada 21 Desember 2006 untuk mendukung Sekretariat RSPO di Kuala Lumpur dan meningkatkan pelaksanaan tujuan RSPO di Indonesia.

RILO telah mendapatkan masukan dan dukungan dari para pelaku kunci dalam industri minyak sawit di Indonesia, khususnya Komisi Minyak Sawit Indonesia (KMSI), Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), WWF Indonesia, dan Sawit Watch.

Roundtable Meeting (RT6) kembali diadakan di Indonesia tepatnya di Bali pada tanggal 18-20 Nopember 2008. Pertemuan ini turut dihadiri oleh sekitar 50 petani kelapa sawit. Pada pertemuan ini membuka ruang bagi petani untuk masuk ke dalam proses produksi dan menempatkan mereka setara dengan kelompok lainnya dalam proses sertifikasi. Petani mengharapkan agar RSPO lebih memperhatikan kepentingan mereka karena kepentingan pengusaha dinilai masih dominan.

Hingga saat ini ada sekitar 600 perusahaan minyak sawit Indonesia yang sudah menjadi anggota RSPO. Beberapa perusahaan perkebunan yang berada di Sumatera Utara khususnya telah mempunyai sertifikat RSPO dan melakukan public announcement RSPO al.PT.Musim Mas, PT.PP Lonsum Tbk, PT. Perkebunan Nusantara III, dan lain-lain.

Tampaknya kriteria-kriteria yang dihasilkan dari RSPO ini tidak selalu sesuai dengan negara-negara produsen minyak sawit mentah (CPO). Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) memperkirakan bahwa peraturan di tingkat regional dan nasional sulit diterapkan pada perkebunan di Indonesia. Hal ini dikarenakan ketentuan dan pedoman pengelolaan dan pengembangan minyak sawit yang dikeluarkan sangat ketat dan sulit dilaksanakan.

Namun demikian demi terciptanya pengelolaan sawit yang berkelanjutan dan lestari serta melaksanakan komitmen untuk mencapai dan mendukung perkebunan dan pengelolaan kelapa sawit yang bertanggung jawab. Maka perusahaan perkebunan dan pengolah kelapa sawit dituntut untuk dapat menunjukkan kinerjanya sesuai dengan standar RSPO. Sehingga isu-isu yang mengangkat masalah kerusakan lingkungan seperti global warming, produk yang tidak ramah lingkungan, kerusakan hutan, dan hilangnya keanekaragaman hayati akibat usaha perkebunan kelapa sawit dapat diatasi.

Leave a comment